Minggu, 21 Juli 2013

Asal usul Kota Magetan

Asal Usul kota Q- Sejarah Asal Usul Kabupaten Magetan Jawa Timur .Wilayah Kab.MAGETAN merupakan salah satu Kabupaten yang berada di perbatasan ujung barat antara Jawa Timur dan Jawa Tengah ini merupakan salah satu wilayah yang ada di bagian timur lereng Gunung Lawu.

Sejarah Kabupaten Magetan yang mengusung sebuah Motto "Memayu Hayuning Bawana Suka Ambangun" ini menaruh besar harapan untuk bisa membangun serta mengayomi semua masyarakat khususnya di seputar lingkup wilayah Kabupaten Magetan secara damai,bersih,aman dan tenteram di semua lini aspek kehidupan bermasyarakat.
Kabupaten Magetan sendiri adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Asal usul Kabupaten Magetan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi di utara, Kota Madiun dan Kabupaten Madiun di timur, Kabupaten Ponorogo, serta Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri yang keduanya termasuk provinsi Jawa Tengah.  
Sejarahnya Magetan terkenal karena kerajinan kulit (untuk alas kaki dan tas), anyaman bambu, rengginan, dan produksi jeruk pamelo (jeruk bali)serta krupuk lempengnya yang terbuat dari nasi.Dan Gunung Lawu adalah tepi dari bagian barat Kabupaten Magetan, yang merupakan perbatasan dengan Karanganyar, Jawa Tengah.
Berikut batas fisik Kabupaten Magetan:
Utara: Kabupaten Ngawi
Timur: Kabupaten Madiun, Kota Madiun
Selatan: Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah)
Barat: Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah)
Adapun luas wilayah Kabupaten Magetan adalah 688,85 km²,yang terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 208 desa, 27 kelurahan, 822 Dusun/Lingkungan, dan 4575 Rukun Tetangga. Dilihat dari tingkat kesuburan tanahnya dan area pertanian di semua lini wilayah Kabupaten Magetan, maka wilayah Kabupaten Magetan terbagi dalam beberapa tipe wilayah seperti tipe wilayah pegunungan dengan tanah pertanian subur dan sedang, dan tipe wilayah dataran rendah dengan tanah pertanian subur dan sedang.

Asal usul Kampung Kauman

Nama Kauman berasal dari Istilah Kawulo Slamet Aman dengan  mengacu pada sejarah bahwa dahulu ada sekelompok orang yang menghuni sebuah hutan. Orang orang ini merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupannya karena ketentraman mereka selalu diganggu oleh para penghuni hutan yang berupa binatang, para budi srani dan penunggun lainnya. Pada suatu hari mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Eyang Dullah Srengat untuk mengadakan perlawanan dengan penunggu hutan tersebut dengan cara menebang subuah pohon yang teryata sebagai tempat persembunyian para pengganggu kehidupan mereka.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Dullah Srengat bersama teman-temannya untuk mengadakan perlawanan dengan penghuni hutan itu. Namun dalam beberapa kali penyerangan yang dilakukan, Eyang Dullah Srengat mengalami beberapa hambatan, sehingga penaklukan kepada penghuni hutan belum membuahkan hasil.
Pada suatu hari ada seorang dari klaten bernama Amir Mahmud yang sedang dalam perjalanan menemui Raden Betoro Katong. Orang ini membantu eyang Dullah Srengat dan kawan kawannya untuk menaklukkan para penghuni hutan.
Dalam penyerangan kali ini Eyang Dullah Srengat dan Eyang Amir Mahmud berhasil membakar pohon yang jadi tempat persebunyian para pengganggu dengan cara yang sangat tradisional yaitu menggesek-gesekkan batu lintang ke pohon yang telah dilingkari dengan bunga alang-alang. Karena panas maka percikan batu itu dapat menimbulkan api dan membakar bunga alang-alang sehingga pohon itu tumbang. Ketika pohon tumbang itulah bumi bergetar dan tiba-tiba muncul seorang pertapa ngalong bernama kibekel Wiryo Dikromo Niti atau terkenal dengan sebutan mbah Solo yang di makomkan di kedung pawun, membantu menaklukkan penghuni hutan. Yang akhirnya kawasan hutan berhasil ditelukkan.
Walaupun kawasan hutan telah ditelukkan, namun mereka tidak akan mengganggu kawulo penghuni hutan. Ini artinya penghuni hutan tetap dalam keadaan aman sebagaimana yang di ucapkan oleh Amir Mahmud ketika menancapkan teken di dekat pohon yang tumbang sebagai tanda telukan. Disisi lain Eyang Dullah Srengat tetap minta supaya kehidupannya di dalam hutan itu tidak di ganggu oleh kawulo hutan.
Pembicaraan kedua orang itu disaksikan oleh kiBekel Wiryo Dikromo Niti. Maka atas permintaan kedua orang tersebut, bekel wiryo Dikrono niti berucap bahwa hutan telukan itu adalah laladan Kawulo Aman.
Dalam perkembangannya kawasan taklukan dari Dullah Srengat Amir Mahmud, dan ki bekel Wiryodikromo menjadi daerah yang maju, sehingga terbentuklah suatu pemerintahan dengan nama Kauman, dengan mengacu pada sejarah bahwa leluhur mereka adalah Kaum yang minta Aman.
Petilasan Eyang Dullah Srengat di depan Balai Desa sekarang ini dan di makomkan di Oro-oro Belik Telu Dukuh Tamanan. 

Makom bekel wiryodikromo niti






Makam Eyang Dulah Srengat









Sedangkan makom Amir Mahfut adalah di Daerah Tosari Ponorogo. Adapun tongkat Amir Mahfut terkadang masih menampakkan diri kepada orang-orang di sekitar tempat petilasan itu.

Asal Mula Gunung Lawu

 
angkringanku.com. Legenda asal mula gunung lawu. Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong. Raden Fatah setelah dewasa agama islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak. Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem. Saat itu Sang Prabu bertitah, “Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak. Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.